Jumat, 23 September 2011

Teman baruku, tembok di sebelahku

Jauh di sana hanya ada 2 bartender lengkap dgn background dan propoganda seperti set cruiser, walau keadaannya sepi mampring di luar dugaan. Caffe yg tak bertamu. Dan hebatnya keduanya tenang saja seolah berkata "mengatasi kesendirian tanpa kesepian"...

Lain lagi, seorang tua, mengadopsi botol plastik yg terlantar kemudaian mengisinya dgn air mineral, perlahan meneguknya dgn rasa syukur dan kembali ke pelukan sinar yg menurutku kejam. "Dedikasi mengalahkan segalanya" sisi lain ungkapan itu.

Di sini, aku dgn segala kehebatanku hampir berhasil mengatasi kekosongan, menghadap tembok berisi jadwal liturgi membosankan. Menatap satu titik hitam yg lama-lama melebar memenuhi pandangan.

Lagu lagu dangdut masa kini membuat kepalaku copot sebenarnya, seni yg semakin gila, sama sekali tak berbau edukasi. Maaf kritis itu perlu!! Tapi mau apa lagi, namanya juga seni. Toh akupun juga sakit hati bila di katakan "orang orang seni identik dgn kegilaan".

Tiga, dua, satu... Aku mulai berkenalan dgn tembok di sampingku, dan dia seperti mengintrogasiku. Bertanya "Siapa aku?"

Perlahan aku ungkapkan isi hatiku. Hari ini menyebalkan, aku rindu banyak orang, dan tak satupun mampu aku temui. Tembok putih itu tersenyum, berkata "Bukan kah memang hari-harimu memuakkan?"

Dan ia mulai bercerita:
Kegagalan itu adalah ketika aku menunduk dan menangis di ruangan gelap, tak ada seorangpun yg tau dan tak ada seorangpun yg perduli. Dan hendaknya ketika kegagalan itu ada, ia sudah siap dgn kebangkitan yg baru. Adalah ketika kau mengangkat kepalamu, dan mengusap air matamu dgn kedua belah tanganmu sendiri, dan tersenyumlah. Sadari bukan kamu sendiri yg pernah menangis.
Lihat mereka yg disana...

Waktunya aku ada di mata mereka, waktunya aku menjadi bagian dunia. Semua akan terus berjalan dan baik-baik saja.

Pesan singkat teman baruku, tembok di sampingku. Jangan sebut aku gila...!

Minggu, 18 September 2011

Noktah

Siang tenang di tempat kerjaku...

Di sudut sana dia tertidur, di sudut yg lain mereka merangkai asap rokok sambil membicarakan sepuah resesi, seperti di sebuah warung kopi. Aku, ku naikkan kakiku di atas meja kasir ini, pada dasarnya aku insom, tak akan mungkin tertidur di tempat begini, ku nikmati saja... Ku tegakkan pena, dan mulai mencabik kertas putih yg ku anggap seluas sabana.

Membayangkan di sebuah ruangan, kau dan aku di sana. Menciptakan noktah yang sama sekali tak terduga. Semoga itu janji... Kemarin itu terjadi, sampai sekarang masih terasa.

"Pangeran Arturku...
Hidupku tak lama lagi" kataku...
Dan kau berkata "karena hidupmu akan menjadi satu dengan hidupku nantinya..." dan kau tersenyum.

Angan kita beradu, menghadap langit2 kamar yg terasa kian membiru. Membiaskan warna warni rasa kita yang melengkung murung seperti pelangi. Sakitnya tak terasa, terhapus senyummu yg menembus semua sakit, menjadi antibiotik dalam setiap pedihku...

Peluk aku, hatiku mulai dingin, merasakan sakitnya noktah merah di atas tilam... Biar nantinya tak terurai dan tercecer di jalanan...!

Stop, ini rahasia, diam saja bila otak anda mengada ada!!

*temanku di ujung sana terbangun, yang di sudut lain berhenti bercengkrama tanpa ada penyelesaian nasib negara. Ok! Aku harus berbuat yg lainnya. Dari pada di tegur atasan, dan di pecat. Aku makan apa?

INDOfutsal state, 19 Sept 2011

Jumat, 16 September 2011

Memilih mati...!

Membuka catatan baru bersama melodi lama yg tak terucap.

Makna mandiri, berdiri sendiri, memutus marka dalam ucapan dosa; kata mereka sebuah loyalti lunas, bahkan dedikasi tinggi seperti dalam jangkauan satelit dalam episiklusnya adalah rupa hidup. Tapi aku?? Sulit di bayangkan, apalagi di katakan.

Semua sudah di abaikan, akupun berusaha melupakan. Kata mereka ke kurangan ku bergincu kelebihanku, ternyata mereka bohong! Mereka hanya berfikir dari mana aku? Seperti apa aku bukan menjadi hal maklum dalam kembali pada sinar ku sendiri. Redup, dan semakin menghilang...

Tidak di perdulikan, dan aku hanya bisa terima dan berkata "ya", tanpa siapa-siapa, bahkan semakin menganggap Tuhan mengabaikan aku, dan akupun sebaliknya.

Sampai kapan dunia menyimpanku, aku bosan hidup, tapi bukan berarti siap mati...! Hanya seperti ingin memilih mati...