Senin, 31 Januari 2011

CATATAN FEBRUARY

Suatu hari, di bulan Februari...

Bersama serpih kering daun-daun pinisium pagi itu, teringat aku akan sebuah janji "aku pasti hubungi kamu!". Entah berapa bulan sudah ku tinggalkan pagi dan petang menjalani hari di bumi pertiwi, dan hari itu aku berdiri di sini. Di negri yang jauh dan perbedaan waktu dalam batas pijakan. Aku raih kembali jejak yg terbuang, ku ingatkan kembali sebuah hati pada benih yg mati di hari yg lalu.
"hallo...! Ini aku"...

Tak terfikir bila apa yg ku lakukan adalah sebuah penyesalan: penyesalan tuk meninggalkan mu jauh disini, penyesalan tuk memungut benih-benih cinta yg seharusnya sudah terbuang... Dan seharusnya aku sadar bila hatimu sudah tertambat di lain hati. Maafkan aku...

Senyum sering lamat-lamat mengembang di wajah sepi ini, menatap sebuah ponsel dalam genggaman yg hanya tertulis kata demi kata.


Kota ini, dalam asing segala suasana, dalam dingin menyeruak siklus hari, aku masih mampu tersenyum. Meski menangis akupun kembali tersenyum... Karenamu...!

PERJALANAN KAOS OBLONG

Kebisuan menjadi sebuah jawaban, hikmat Tuhan mengalir dalam setiap renungan, lembar-lembar cerita terlewatkan, terbentuk sebuah rincian, kisi kemanusiaan yg kadang terarah pada angkuh tuk menakhlukkan kelemahan... Mungkin realita; jiwa terbentuk semakin sempurna dgn benturan dan keimanan di setiap detik dalam putaran masa. Bumi kian kokoh degan penipuan, perorangan kian marak dgn perjuangan, dan aku, jiwaku, ambisiku; tupang tindih menimbang rasa, menyadari kian jauh dari sempurna...

Merenung, di kediaman ini, di negeri sepi tak berpenghuni aku melukis tentang wajah diri.

Suatu petang, seorang ayah dan anak berbincang: "pak, low aku gede aku pengen jd pramugari...!!" kata seorang anak yang terdiam di dahan sebuah pohon salam (syzygium polyanthum). Ayahnya tersenyum, mungkin aneh mungkin bangga, terkemas dalam senyumnya. Seorang ayah yg hanya bersahabat dan setia berkolaborasi degan kursi roda kembali termangu. Dan gadis itu, kembali melamun, entah kemana bersiar-siar angannya. Suatu saat dirinya; pecinta kaos oblong itu mampu memakai rok full textur feminimisasi, memahami semua teori aviasi dan tak perduli dongeng Boeing 737-400 Adam Air beserta black box'nya... Atau sekedar berkeinginan memakai alas kaki yg membawanya sedikit melambung 5-7cm dr permukaan tanah. Entahlah... Realita atau hanya fiktif belaka. Biarkan ia bermimpi, bukankan cita adalah hak?

Waktu bergulir, menyadarkan mimpi tak selamanya bersatu degan kenyataan, perjalanan kaos oblong masih belum berakhir, masih setia menemani dgn sejuta kesetiaan dalam mengalahkan korban-korban mode yg terkapar. Mimpi hanya sebagai rangkaian penggenap hari. Seperti layaknya kumpulan anak SD yg menulis tentang destinansi.

Anak yg 13 tahun lalu berhayal masih tetap. Payah! Masih memeluk prinsip kaos oblong, bukan berganti pada high heel tapi terlebih alergi tingkat tinggi padanya. Di mana senyum ayah?? Beliau masih tersenyum dan aku melihatnya di surga. Aku tak perduli diri miskin materi, tapi kurasa Tuhan adil membagi rizki.

Perjalanan kaos oblong tak akan terganti, hakikat hidup bukan pada mimpi, tp kenyataan yg tersusun seperti mimpi.

Toh aku bukan kumpulan mahasiswi yang berjajar berjuang demi skripsi, bukan berdiri di ekosistem manusia berdasi, tp aku dan perjalanan kaos oblong masih di hati. Ia menyertaiku berjuang, kadang menemani dan mengusap butiran air mata yang kadang menyapa.

Aku dan perjalanan kaos oblong...

Minggu, 23 Januari 2011

Pemikiran Otak Berdebu

Catatan pengisi insomnia...

Hai putra putri pemikir bangsa:

Pernahkah kau berfikir bilakah penjajakan politisi berakhir? Ataukah pemikiran setara dengan anjungan putra putri bangsa yg menilai debu jalanan adalah kawan seperjuangan?

Banggalah! Putri-putri kartini tlah laun tersihir menjadi putri pemimpi terbalut gincu dan otak yg rancu. Putra-putra sudirman tlah berevolusi menjadi pahlawan sejiwa perlawanan...

Rindukah bangsaku menjadi biru dan bernyanyi tentang rayuan pulau kelapa dan segenap mars-marsnya? Ach, pantaskah aku berfikir tentang "merah putih"ku? Setakat kata aku merasa: jubah jalanan membelenggu, bukan sarjana gelarku, salam pada angin malam selalu menungguku. Tak pantas aku!! Bukan urusanku...!! Pesimisme pejuang terabaikan, seolah tak ada kaki tuk melangkah, sayappun tlah terkoyak dan patah.
Pembawa nasib bukan manusia-manusia tertib! Seperti ungkapan reputasi berdampingan pada erat pencari materi. Berfikir; apa beda putra-putri bangsa yg berfikir mahir tentang edukasi dgn putra putri pencari rejeki?

Banggakah penunggu karir itu melaju dgn popularitas dan menunggu tunjangan tiap bulan? Atau lebih banggakah manusia pencari dera bahkan devisa negara tertambahkan?

Ironi: para mahasiswa menilai pekerja dalam predikat kuli adalah menjijikkan. (Reality yg ku temui). Tanyakan pada hatimu; "Apakah itu aku?"

PєгЪєđααη: αþαкαн şєoгαηģ кυli мємiкiг ηαşiЪ "мєгαн þυτiн"? Mαнαşişшα мємiкiг ηαşiЪ "мєгαн þυτiн?"


Hanya pemikiran, cengkrama di antara angin jalanan, terangkai sendu bersama Otak berdebu penghias kerelaan...